Tuesday, February 5, 2013

UGM, Kampus Orang Kaya?

"Kampus orang kaya, dulu masih sekolah rakyat biasa, sekarang mau masuk atau lewat aja harus bayar, hari ini jalanannya di tutup. Kenapa gak protes mas?"

Sepotong kalimat diatas diucapkan oleh seorang ibu-ibu yang berumur sekitar 40 tahun yang kutemui di sudut kampus. Ibu itu masih tampak sehat, tapi dengan pakaian yang lusuh dan mengais2 tempat sampah kertas mencari sesuatu yang bisa diambilnya, salah satu cara untuk bertahan hidup. Aku ngerasa malu jadi mahasiswa kampus tersebut ketika ibu itu bilang "Sekarang kampusnya milik orang kaya"

Lanjut cerita, memang udah sekitar 3-4 tahun ini kampusku mulai memberlakukan sistem tarif akses masuk berbayar, setiap mahasiswa, dosen, ataupun pegawai di kampus harus punya KIK atau Kartu Identitas Kendaraan. Kartu ini harus ditunjukkan setiap masuk keluar kampus. Kalau gak punya, kami disuruh membayar Rp 1.000 - Rp 2.000, tergantung jenis kendaraannya. Tapi sekarang katanya udah gak bayar lagi meskipun gak punya kartu. Jujur secara pribadi, aku gak tau maksud dan tujuan kampus memberlakukan sistem seperti itu untuk apa. Padahal setauku jaman dulu, kampusku ini kampus negeri pertama yang dibangun oleh rakyat untuk rakyat. Entah sekarang kenapa jadi kampus kapitalis.

Dan beberapa hari yang lalu sebelum ketemu sama ibu-ibu yang tadi, aku mau berangkat ke kampus menuju Sunmor atau Sunday Morning, semacam pasar kaget yang ada di jalanan kampus dan cuma ada di hari Minggu. Biasanya aku lewat jalan A, tapi karena jalannya ditutup jadi harus memutar jauh lewat jalan C. Repot banget kalau jalanan ditutup tanpa alasan jelas, gak ada pemberitahuan apa-apa di depan jalannya.  Entahlah, cuma pihak kampus dan Tuhan yang tau alasannya..


2 comments:

Lia Wibyaninggar said...

Haha. Ironi. Kampus memberlakukan peraturan "jalan ini hanya bisa dilalui oleh kendaraan yang ber-KIK" membikin mahasiswa tak bisa bebas mengakses jalan sekenanya, blablaba, tapi di sisi lain, pengemis, pengamen, gelandangan (yang notabene terkadang malah mengganggu)bebas keluar masuk kampus. Lantas, siapa yang patut disalahkan?
Saya percaya, kampus membuat peraturan sedemikian rupa bukan tanpa sebab, dan tentulah ini semua demi kebaikan para civitas akademika. Dulu, sebelum ada KIK, masih marak kasus curanmor, meski kita tidak bisa menjamin adanya KIK menghilangkan kasus2 curanmor tadi. Mungkin, kesalahan kampus adalah kurang mensosialisasikan program itu kpd mahasiswa. Kesalahan mahasiswa adalah tergesa-gesa memberi judgement kpd kampus bahwa peraturan ini merugikan (dengan adanya demo #tolakKIK dsb). Wallahua'lam. Tapi apa iya mahasiswa mampu memecahkan masalah2 di kampus termasuk ketika ada curanmon--nggak cuma protes demo sana-sini aja? At least, sebagai yg difasilitasi, positive thinking saja. Bukankah pak mantan rektor kita yg bersahaja itu saja bersepeda ke kampus? Toh sekarang sudah disediakan sepeda kampus untuk mobile di wilayah kampus. Lebih sehat, dan go green. Nah, jika kelak jumlah kendaraan bermotor semakin menumpuk di Indonesia ini, apakah kita sebagai agent of change sudah memikirkan solusinya?
^___^

Rizky Aditya said...

aku setuju sih kalo soal kurangnya sosialisasi ke mahasiswa soal KIK, entah udh pernah ada ato gak, memang ada pro kontranya sih, tp perlu ada ketegasan dan alasannya harus logis..
thx li buat komentarnya ^^